About Solo

Istilah Solo Raya sebenarnya mengacu pada suatu wilayah yang dahulu dikenal dengan istilah Karesidenan Surakarta ( Eks karesidenan Surakarta ). Karesidenan adalah sebuah wilayah yang dipimpin oleh seorang residen pada masa penjajahan dulu. Dahulu ada Karesidenan Surakarta yang wilayahnya meliputi kota Surakarta, Boyolali, Sukoharjo, Karanganyar, Wonogiri, Sragen, dan Klaten. Wilayah Karesidenan ini serupa dengan wilayah Kerajaan Surakarta Hadiningrat. Keseluruhan wilayah ini menempati area seluas 5.722,38 km2.Istilah Solo raya memang diciptakan untuk menggantikan istilah Subosukawonosraten. Subosukowonosraten adalah singkatan dari wilayah-wilayah yang tergabung yaitu. surakarta,boyoali, sukoharjo, Karang Anyar, Wonogiri sragen. Klaten. Solo Raya memiliki Slogan Solo Spirit of Java. Dengan Slogan itu Solo raya ingin menegakkaan kembali semangat adi luhung budaya jawa dalam pembangunan wilayah.

Bengawan Solo

Bengawan Solo, Riwayatmu ini, Sedari dulu jadi…, Perhatian insani, Musim kemarau., Tak seberapa airmu, Dimusim hujan air.., Meluap sampai jauh, Mata airmu dari Solo, Terkurung gunung seribu, Air meluap sampai jauh, Dan akhirnya ke laut, Itu perahu, Riwayatnya dulu, Kaum pedagang selalu…, Naik itu perahu

Pasar Gedhe

Menurut RM Sajid dalam buku berjudul Babad Sala, meski di Kota Solo banyak terdapat pasar, tak ada yang menyamai pasar itu. Begitulah Pasar Gede Solo, yang sampai sekarang masih tetap tumbuh dan berkembang sebagai salah satu pasar tradisional.
Boleh jadi, apa yang dikemukakan oleh penulis buku tersebut bukanlah sekadar membesar-besarkan. Setidaknya, ada beberapa hal yang menengarainya. Yaitu di antaranya, sejarah pada awal-awal 1900-an Masehi yang telah turut mengiringi perjalanan itu.
"Kajawi kathah griya los-losanipun ingkang ageng-ageng, pasaripun lumintu saben dinten boten wonten gothangipun. Bibaripun tiyang sesadeyan kirang langkung jam gangsal sonten. (Selain banyak ruko-ruko yang besar-besar, pasarnya setiap hari selalu ramai. Selesainya orang berdagang, kurang lebih pukul 17.00)," papar RM Sajid dalam buku tersebut.

Itulah, di antara beberapa tengara yang sesuai dengan namanya, kemudian membuat Pasar Gede benar-benar menjadi besar. Bandingkan dengan pasar lain, yang tingkat keramainnya dipengaruhi oleh hari pasaran. Misalnya Pasar Legi, Pasar Kliwon, dan Pasar Pon.
Di sisi lain, yang juga menjadi bukti tentang kebesaran pasar tersebut, adalah dengan sudah diberlakukannya sistem jual dan sewa terhadap ruko maupun tempat lain untuk berjualan. Sebuah sistem yang menurut penulis masih belum umum pada saat itu.Ada sebuah fenomena lagi, yang kemudian semakin mengukukuhkan keberadaan Pasar Gede Solo. Itu terjadi pada 1927, saat Sampeyandalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan (SISKS) Paku Buwono (PB) X merehab bangunan pasarnya.
Ya, karena dengan pembangunan ulang itulah, muncul sejarah pasar tradisional yang bukan hanya untuk tataran wilayah Kota Solo, namun seluruh Indonesia. Betapa tidak, jika dengan pembangunan ulang tersebut, pasar itu kemudian menjadi pasar pertama bertingkat di Indonesia. "Nalika 1927, Pasar Gedhe wau dipun dandosi sae kanti waragat ingkang boten sekedhik, inggih punika 300 ewu gulden. Lajeng dados peken sepisanan ingkang tumpuk kalih. (Pada 1927, Pasar Gede itu dibangun ulang dengan biaya yang tidak sedikit, yakni 300 ribu gulden," tandasnya.

Demikianlah, di antaranya, sejarah yang mengiringi Pasar Gede. Kini, pasar tersebut masih tetap tumbuh dan berkembang. Meski pada 1998 pernah dilalap api, dua tahun kemudian pasar itu kembali dibangun dengan tetap mempertahankan bentuk arsitektur aslinya. (sumber: Wisnu Kisawa - Suara Merdeka)



0 komentar:

Posting Komentar



 

different paths

college campus lawn

wires in front of sky

aerial perspective

clouds

clouds over the highway

The Poultney Inn

apartment for rent