Candi Cetho
Candi Cetho (cetho = jelas, jernih tanpa halangan) merupakan sebuah candi peninggalan budaya Hindu dari abad ke-14 pada masa akhir pemerintahan Majapahit. Fungsi candi ini tidaklah berbeda dengan candi Hindu yang lain yakni sebagai tempat pemujaan. Sampai saat inipun Candi Cetho tetap digunakan oleh penduduk sekitar yang memang merupakan penganut agama Hindu.
Cetho terdiri dari sembilan trap (tingkat) berbentuk memanjang kebelakang dengan trap terakhir sebagai trap utama pemujaaan terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa (seperti bentuk-bentuk tempat pemujaan pada masa purba yaitu Punden Berundak). Trap-trap tersebut adalah:
Trap pertama setelah gapura masuk merupakan halaman candi.
Trap kedua masih berupa halaman namun ditrap ini terdapat petilasan Ki Ageng Krincingwesi yang merupakan leluhur masyarakat Cetho.
Pada trap ketiga terdapat sebuah soubment memanjang di atas tanah yang menggambarkan nafsu badaniah manusia (nafsu hewani) berbentuk phallus (alat kelamin laki-laki) sepanjang lebih dari 2 m, dengan diapit dua buah lambang kerajaan Majapahit menunjukkan masa pembuatan candi.
Pada trap keempat dapat ditemui relief pendek yang merupakan cuplikan kisah Sudhamala, (seperti yang terdapat pula di Candi Sukuh) yaitu kisah tentang usaha manusia untuk melepaskan diri dari malapetaka.
Pada trap kelima dan keenam terdapat pendapa-pendapa yang mengapit jalan masuk candi. Sampai saat ini pendapa-pendapa tersebut masih sering digunakan sebagai tempat melangsungkan upacara-upacara besar keagamaan.
Trap ketujuh dapat ditemui dua buah arca di samping kanan kiri yang merupakan arca Sabdopalon dan Nayagenggong, dua orang abdhi kinasih dari Sang Prabu Brawijaya yang juga merupakan penasehat spiritual dari beliau. Hal ini melambangkan kedekatan jiwa beliau dengan rakyatnya yang diwakili kedua tokoh tersebut.
Pada trap kedelapan terdapat arca Phallus (kuntobimo) di samping kiri dan arca Sang Prabu Brawijaya yang digambarkan sebagai "mahadewa". Arca phallus melambangkan ucapan syukur atas kesuburan yang melimpah atas bumi cetho dan sebuah pengharapan kepada Tuhan Yang Maha Esa agar kesuburan yang dilimpahkan itu tak kan terputus selamanya. Arca Sang Prabu Brawijaya menunjukkan penauladanan masyarakat terhadap kepemimpinan beliau, sebagai raja yang bèrbudi bawa leksana, ambeg adil paramarta yang diyakini pula sebagai utusan Tuhan di muka bumi.
Trap terakhir (trap kesembilan) adalah trap utama yang merupakan tempat pemanjatan doa kepada Penguasa Semesta yang berbentuk kubus berukuran 1,50 m2.Candi Cetho menghadap ke arah barat hal ini berbeda dengan candi-candi yang ada di Jawa Tengah karena Candi Cetho begitu pula Candi Sukuh dibangun pada masa Majapahit sehingga dengan sendirinya pembangunan candi terpengaruh oleh apa yang terbiasa ada di candi-candi Jawa Timur.
Di sebelah atas bangunan Candi Cetho terdapat sebuah bangunan yang pada masa lalu digunakan sebagai tempat membersihkan diri sebelum melaksanakan upacara ritual peribadahan (patirtan). Sedangkan di sebelah barat dari bangunan candi dengan menuruni lereng yang sangat terjal bisa ditemukan lagi sebuah bangunan candi yang oleh masyarakat sekitar disebut sebagai Candi Kethek. Namun sayang sekali sampai saat ini penggalian candi belum dilakukan. Bangunan Candi Cetho secara keseluruhan terbuat dari batu-batuan yang dipahat berbentuk persegi empat dan ditata rapi untuk ubin, ataupun pagar serta relief candi. Kebanyakan arca dan relief sudah banyak mengalami kerusakan. Candi Cetho yang terletak di lereng Gunung Lawu sebelah barat masuk di kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, dikelilingi kelebatan rimba
0 komentar:
Posting Komentar